EMBOLI AIR KEYUBAN DAN INDUKSI PERSALINAN
EMBOLI AIR KEYUBAN DAN INDUKSI PERSALINAN
2.1 EMBOLI AIR KETUBAN ( EAK )
A.
Definisi
Cairan Ketuban
Merupakan
semacam cairan yang memenuhi seluruh rahim dan memiliki berbagai fungsi untuk
menjaga janin. Di antaranya, memungkinkan janin dapat bergerak dan tumbuh bebas
ke segala arah, melindungi terhadap benturan dari luar, barier terhadap kuman
dari luar tubuh ibu, dan menjaga kestabilan suhu tubuh janin. Ia juga membantu
proses persalinan dengan membuka jalan lahir saat persalinan berlangsung maupun
sebagai alat bantu diagnostik dokter pada pemeriksaan amniosentesis. Air
ketuban mulai terbentuk pada usia kehamilan 4 minggu dan berasal dari sel darah
ibu. Namun sejak usia kehamilan 12 minggu, janin mulai minum air ketuban dan
mengeluarkan air seni. Sehingga terhitung sejak pertengahan usia kehamilan, air
ketuban sebagian besar terbentuk dari air seni janin.Pada kehamilan normal,
saat cukup bulan, air ketuban jumlahnya sekitar 1.000 cc.
B. Emboli Air
ketuban
Emboli
cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan ketuban
memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan yang
akut dan shock. Dua puluh lima persen wanita yang menderita keadaan ini
meninggal dalam waktu 1 jam. Emboli cairan ketuban jarang dijumpai. Kemungkinan
banyak kasus tidak terdiagnosis yang dibuat adalah shock obastetrik, perdarahan
post partum atau edema pulmoner akut. Cara masuknya cairan ketuban Dua tempat
utama masuknya cairan ketuban kedalam sirkulasi darah maternal adalalah vena
endocervical ( yang dapat terobek sekalipun pada persalinan normal ) dan daerah
utero plasenta.Ruputra uteri meningkat kemungkinan masuknya cairan ketuban.
Abruption plasenta merupakan peristiwa yang sering di jumpai, kejadian ini
mendahului atau bersamaan dengan episode emboli.
Menurut dr. Irsjad Bustaman, SpOG Emboli air ketuban (EAK) adalah masuknya
cairan ketuban beserta komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Yang dimaksud
komponen di sini ialah unsur-unsur yang terdapat di air ketuban seperti
lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan
musin/cairan kental. Emboli air ketuban atau EAK (Amniotic fluid embolism)
merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Kasusnya antara 1 : 8.000 sampai 1
: 80.000 kelahiran. Bahkan hingga tahun 1950, hanya ada 17 kasus yang pernah
dilaporkan. Sesudah tahun 1950, jumlah kasus yang dilaporkan sedikit meningkat.
EAK umumnya
terjadi pada kasus aborsi, terutama jika dilakukan setelah usia kehamilan 12
minggu. Bisa juga saat amniosentesis (tindakan diagnostik dengan cara mengambil
sampel air ketuban melalui dinding perut). Ibu hamil yang mengalami trauma /
benturan berat juga berpeluang terancam EAK. Namun, kasus EAK yang paling
sering terjadi justru saat persalinan atau beberapa saat setelah ibu melahirkan
(postpartum). Baik persalinan normal atau sesar tidak ada yang dijamin 100%
aman dari risiko EAK, karena pada saat proses persalinan, banyak vena-vena yg
terbuka, yang memungkinkan air ketuban masuk ke sirkulasi darah ibu. Emboli air
ketuban merupakan kasus yang berbahaya yang dapat membawa pada kematian. Bagi
yang selamat, dapat terjadi efek samping seperti gangguan saraf.
C. Etiologi
Patofisiologi belum jelas diketahui secara pasti. Diduga bahwa terjadi
kerusakan penghalang fisiologi antara ibu dan janin sehingga bolus cairan
amnion memasuki sirkulasi maternal yang selanjutnya masuk kedalam sirkulasi
paru dan menyebabkan :
- Kegagalan perfusi secara masif
- Bronchospasme
- Renjatan
1.
Multiparitas dan
Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga pada wanita
yang proses persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan yang
sulit . Khususnya kalau wanita itu multipara berusia lanjut dengan janin yang
amat besar , mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan ketuban, harus
menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini ( emboli cairan ketuban ) .
2.
Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan ketubanpun dapat
masuk melalui pembuluh darah.
3.
Kematian janin
intrauteri
Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga kemungkinan besar akan
ketuban pecah dan memasuki pembuluh darah ibu, dan akan menyubat aliran darah
ibu, sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami gangguan pernapasan karena
cairan ketuban menyubat aliran ke paru, yang lama kelamaan akan menyumbat
aliran darah ke jantung, dengan ini bila tidak tangani dengan segera dapat
menyebabkan iskemik bahkan kematian mendadak.
4. Menconium dalam cairan ketuban
5. Kontraksi uterus yang kuat
Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan terjadinya laserasi
atau rupture uteri, hal ini juga menggambarkan pembukaan vena, dengan pembukaan
vena, maka cairan ketuban dengan mudah masuk ke pembuluh darah ibu, yang
nantinya akan menyumbat aliran darah, yang mengakibatkan hipoksia, dispue dan
akan terjadi gangguan pola pernapasan pada ibu.
6. Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi
Dengan prosedur operasi tidak jauh dari adanya pembukaan pembuluh darah,
dan hal ini dapat terjadi ketuban pecah dan masuk ke pembuluh darah ibu.
D. Fisiologi
Ketuban
(Amnion) manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau
ke-8 perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion,
berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah.
Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah yang sedang tumbuh,
yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion.
Cairan ketuban (amnion) pada keadaan
normal berwarna putih agak keruh karena adanya campuran partikel solid yang
terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material
sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau
antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata
volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada
kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin
sendiri.
Cairan amnion diproduksi oleh janin
maupun ibu, dan keduanya memiliki peran tersendiri pada setiap usia kehamilan.
Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian besar diproduksi oleh sekresi
epitel selaput amnion.
Dengan bertambahnya usia kehamilan,
produksi cairan amnion didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran.
Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan permeabilitas,
ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam memproduksi cairan amnion.
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml
per hari cairan amnion di sekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari
cairan trakea. Pada penelitian dengan menggunakan radioisotop, terjadi
pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan amnion.
Pada kondisi dimana terdapat
gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis ginjal, akan menyebabkan
oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan pada janin, seperti atresia
esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan polihidramnion
E. Patofisiologi
Studi-studi pada primate dengan
menggunakan injeksi cairan amnion homolog, serta study yang dilakukan secara
cermat terhadap model kambing, menghasilkan penanaman yang penting tentang
kelainan hemodinamik sentral (Adamsons dkk, 1971, Hankins dkk,1993, Stolte dkk,
1976). Setelah suatu fase awal hipertensi paru dan sistemik yang singkat,
terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik dan indeks kerja pulsasi
ventrikel kiri ( Clark dkk, 1988). Pada fase awal sering dijumpai desaturasi
oksigen transient tetapi mencolok sehingga sebagian besar pasien yang selamat
mengalami cedera neurologist (Harvey dkk, 1996). Pada wanita yang bertahan
hidup melewati fase kolaps kardiovaskuler awal, sering terjadi fase sekunder
berupa cedera paru dan koagulopati.
Keterkaitan hipertonisitas uterus
dengan kolaps kardiovaskuler tampaknya lebih berupa efek daripada kausa emboli
cairan amnion (Clark dkk, 1995). Memang aliran darah uterus berhenti total
apabila tekanan intrauterine melebihi 35 sampai 40 mmHg (Towell, 1976). Dengan
demikian . kontraksi hipertonik merupakan waktu yang paling kecil
kemungkinannya terjadi pertukaran janin-ibu. Demikian juga, tidak terjadi
hubungan sebab akibat antara pemakaian oksitosin dengan emboli cairan amnion
dan frekuensi pemakaian oksitosin tidak meningkat pada para wanita ini
(American College Of Obstetricians and Gynecologists, 1993).
Pathophysiology dari EAK yang kurang
dipahami. Berdasarkan deskripsi awal, ia berteori bahwa cairan ketuban dan
sel-sel janin memasuki sirkulasi ibu, mungkin memicu reaksi anafilaksis
terhadap antigen janin. Namun, bahan janin tidak selalu ditemukan dalam
sirkulasi ibu pada pasien dengan EAK, dan materi berasal dari janin yang sering
ditemukan pada wanita yang tidak mengembangkan EAK.
Perjalanan cairan amnion memasuki
sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui laserasi pada vena endoservikalis
selama diatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus
bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh
darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain
karena rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya
berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah. Walaupun cairan amnion dapat
masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa ibu dapat
terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama dengan syok
anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat menyumbat
pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan
bisa menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan
sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari
menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri koroner dan
arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri berkurang
dan curah jantung menurun akibat iskemia myocardium. Mengakibatkan gagal
jantung kiri dan gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini
mungkin memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan
pendarahan besar dengan rahim atony dan Coagulation Intaravakuler Diseminata (
DIC ). Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan
hidup dalam kejadian awal. Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion
mencetuskan pembekuan. Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban
atau kontaminasi dengan mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi
intravaskuler.
F. Tanda gejala
Tanda dan gejala embolisme cairan amnion ( Fahy , 2001
) antara lain :
Hipotensi ( syok ), terutama
disebabkan reaksi anapilactis terhadap adanya bahan – bahan air ketuban dalam
darah terutama emboli meconium bersifat lethal.
Gawat janin ( bila janin belum
dilahirkan )
Edema paru atau sindrom distress
pernafasan dewasa.
Henti kardiopulmoner
Sianosis
Koagulopati
Dispnea / sesak nafas yang sekonyong
– konyongnya
Kejang , kadang perdarahan akibat
KID merupakan tanda awal.
G. Gambaran klinis
Shock yang
dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga pada wanita yang proses
persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan yang sulit .
Khususnya kalau wanita itu mulipara berusia lanjut dengan janin yang amat besar
, mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan ketuban, harus
menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini ( emboli cairan ketuban ) .Jika
sesak juga didahului dengan gejala mengigil yang diikuti dyspnea , vomitus ,
gelisah , dll disertai penurunan tekanan darah yang cepat serta denyut nadi
yang lemah dan cepat .Maka gambaran tersebut menjadi lebih lengkap lagi . Jika
sekarang dengan cepat timbul edema pulmoner padahal sebelumnya tidak terdapat
penyakit jantung , diagnosa emboli cairan ketuban jelas sudah dapat dipastikan.
Pada uraian
ini tidak ada lagi yang ditambahkan kecuali hasil pemeriksaan selanjutnya
menunjukkan bahwa gambaran tersebut biasanya disertai kegagalan koagulasi darah
pasien dan adanya perdarahan dari tempat plasenta.
G. Pemeriksaan
Diagnostik
1. Gas darah arteri : pO2 biasanya menurun.
2. Tekanan vena sentralis dapat meningkat, normal,
atau subnormal tergantung pada kuantitas hilangnya darah. Darah vena sentralis
dapat mengandung debris selular cairan amninon.
3. Gambaran koagulasi ( fibrinogen, hitung jumlah
trombosit, massa protrombin, produk pecahan fibrin. Dan massa trombo[lastin
parsial ) biasanya abnormal , menunjukkan DIC.
4. EKG dapat memperlihatkan regangan jantung kanan
akut.
5. Keluaran urin dapat menurun, menunjukkan perfusi
ginjal yang tidak adekuat.
6. Foto toraks biasanya tidak diagnostic tapi
dapat menunjukkan infiltrate. Scan paru dapat memperlihatkan defek perfusi yang
sesuai dengan proses emboli paru.
H. Penanganan
1. Penatalaksanaan
primer bersifat suportif dan diberikan secara agresif.
a). Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi ,
koreksi defek yang khusus ( atonia uteri , defek koagulasi )
b). Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi
hipovolemia & perdarahan .
c). Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan atonia
uteri.
d). Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan ancietas .
e). Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular dengan
menghambat proses perbekuan
f). Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila ada
bronkospasme .
g). Isoproternol di berikan perlahan – lahan melalui Iv untuk menyokong
tekanan darah sistolik kira – kira 100 mmHg
h). Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat .
i). 0ksigen selalu merupakan indikasi intubasi dan tekan akhir ekspirasi
positif (PEEP) mungkin diperlukan .
j). Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar dan
sedian trombosit.
2. Bila anak belum lahir, lakukan Sectio
Caesar dengan catatan dilakukan setelah keadaan umum ibu stabil
3. X ray torak memperlihatkan adanya edema
paru dan bertambahnya ukuran atrium kanan dan ventrikel kanan.
4. Laboratorium : asidosis metabolik (
penurunan PaO2 dan PaCO2)
5. Terapi tambahan :
a). Resusitasi cairan
b). Infuse Dopamin untuk memperbaiki
cardiac output
c). Adrenalin untuk mengatasi
anafilaksis
d). Terapi DIC dengan fresh froozen
plasma
e). Terapiperdarahan pasca persalinandenganoksitosin
f). Segera rawat di ICU
2.2 INDUKSI PERSALINAN
A. PENGERTIAN
Induksi
pesalinan yaitu suatu tindakan yang dilakukan terhadap ibu hamil yang belum
inpartu untuk merangsang terjadinya persalinan. Induksi persalinan terjadi
antara 10% sampai 20% dari seluruh persalinan dengan berbagai indikasi baik
dari ibu maupun dari janinnya (Wing DA, 1999). Indikasi terminasi kehamilan
dengan induksi adalah KPD, kehamilan post term, polyhidramnion, perdarahan
antepartum (plasenta previa, solusio plasenta), riwayat persalinan cepat,
kanker, PEB, IUFD (Orge Rost, 1995).
Induksi
persalinan adalah suatu upaya stimulasi mulainya proses persalinan, yaitu dari
tidak ada tanda-tanda persalinan, kemudian distimulasi menjadi ada dengan
menimbulkan mulas/his. Cara ini dilakukan sebagai upaya medis untuk mempermudah
keluarnya bayi dari rahim secara normal.
Indikasi-indikasi
yang penting ialah postmaturitas dan hipertensi pada kehamilan lebih dari 37
minggu. Untuk dapat melakukan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
kondisi, diantaranya :
1. Hendaknya
serviks uteri sudah “matang”, yaitu serviks sudah mendatar dan menipis dan
sudah dapat dilalui oleh sedikitnya 1 jari, sumbu serviks menghadap ke depan.
2. Tidak ada
disproporsi sefalopelvik (CPD)
3. Tidak ada
kelainan letak janin yang tidak dapat dibetulkan
4. Sebaiknya
kepala janin sudah mulai turun ke dalam rongga panggul.
Apabila kondisi-kondisi ini tidak
dipenuhi, maka induksi persalinan mungkin tidak memberi hasil yang diharapkan.
B. KLASIFIKASI INDUKSI PERSALINAN TERBAGI ATAS:
1. Secara Medis
A. Infus oksitosin
Oksitosin adalah suatu hormon yang
diproduksi di hipotalamus dan diangkut lewat aliran aksoplasmik ke hipofisis
posterior yang jika mendapatkan stimulasi yang tepat hormon ini akan dilepas
kedalam darah. Impuls neural yang terbentuk dari perangsangan papilla mammae
merupakan stimulus primer bagi pelepasan oksitosin sedangkan distensi vagina
dan uterus merupakan stimulus sekunder. Estrogen akan merangsang produksi
oksitosin sedangkan progesterone sebaliknya akan menghambat produksi oksitosin.
Selain di hipotalamus, oksitosin juga disintesis di kelenjar gonad, plasenta
dan uterus mulai sejak kehamilan 32 minggu dan seterusnya. Konsentrasi
oksitosin dan juga aktivitas uterus akan meningkat pada malam hari.
Mekanisme kerja dari oksitosin belum
diketahui pasti, hormon ini akan menyebabkan kontraksi otot polos uterus
sehingga digunakan dalam dosis farmakologik untuk menginduksi persalinan.
Sebelum bayi lahir pada proses persalinan yang timbul spontan ternyata rahim
sangat peka terhadap oksitosin. Didalam uterus terdapat reseptor oksitosin 100
kali lebih banyak pada kehamilan aterm dibandingkan dengan kehamilan awal.
Jumlah estrogen yang meningkat pada kehamilan aterm dapat memperbesar jumlah
reseptor oksitosin.
Begitu proses persalinan dimulai
serviks akan berdilatasi sehinga memulai refleks neural yang menstimulasi
pelepasan oksitosin dan kontraksi uterus selanjutnya. Faktor mekanik seperti
jumlah regangan atau gaya yang terjadi pada otot, mungkin merupakan hal
penting.
Secara in vivo, oksitosin diproduksi
pada nucleus paraventrikuler hipotalamus dan disalurkan ke hipofisis posterior.
Meskipun regimen dari oksitosin bermacam-macam, diperlukan dosis yang adekuat
untuk menghasilkan efek pada uterus. Dosisnya antara 4 sampai 16 miliunit
permenit. Dosis untuk tiap orang berbeda-beda, namun biasanya dimulai dengan
dosis rendah sambil melihat kontraksi uterus dan kemajuan persalinan.
Syarat-syarat pemberian infus oksitosin :
Agar infus oksitosin berhasil dalam
menginduksi persalinan dan tidak memberikan penyulit baik pada ibu maupun
janin, maka diperlukan syarat – syarat sebagai berikut :
1. Kehamilan aterm
2. Ukuran panggul normal
3. Tak ada CPD
4. Janin dalam presentasi belakang kepala
5. Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar
dan sudah mulai membuka)
Teknik infus oksitosin berencana :
1. Semalam sebelum drip oksitosin, hendaknya penderita
sudah tidur pulas
2. Pagi harinya penderita diberi pencahar
3. Infus oksitosin hendaknya dilakukan pagi hari
dengan observasi yang baik
4. Disiapkan cairan RL 500 cc yang diisi dengan
sintosinon 5 IU
5. Cairan yang sudah mengandung 5 IU sintosinon
dialirkan secara intravena melalui aliran infus dengan jarum abocath no 18 G
6. Jarum abocath dipasang pada vena dibagian volar
bawah
7. Tetesan dimulai dengan 8 mU (1 mU = 2 tetes)
permenit dinaikan 4 mU setiap 30 menit. Tetesan maksimal diperbolehkan sampai
kadar oksitosin 30-40 mU. Bila sudah mencapai kadar ini kontraksi rahim tidak
muncul juga, maka berapapun kadar oksitosin yang diberikan tidak akan
menimbulkan kekuatan kontraksi. Sebaiknya infus oksitosin dihentikan.
8. Penderita dengan infus oksitosin harus diamati
secara cermat untuk kemungkinan timbulnya tetania uteri, tanda – tanda ruptur
uteri membakat, maupun tanda – tanda gawat janin.
9. Bila kontraksi rahim timbul secara teratur dan
adekuat maka kadar tetesan oksitosin dipertahankan. Sebaiknya bila terjadi
kontraksi rahim yang sangat kuat, jumlah tetesan dapat dikurangi atau sementara
dihentikan.
10. Infus oksitosin ini hendaknya tetap dipertahankan
sampai persalinan selesai yaitu sampai 1 jam sesudah lahirnya plasenta.
11. Evaluasi kemajuan pembukaan serviks dapat
dilakukan dengan periksa dalam bila his telah kuat dan adekuat.
B. Prostaglandin
Pemberian prostaladin dapat
merangsang otok -otot polos termasuk juga otot-otot rahim. Prostagladin yang
spesifik untuk merangsang otot rahim ialah PGE2 dan PGF2 alpha. Pemakaian
prostaglandin sebagai induksi persalinan dapat dalam bentuk infus intravena
(Nalador) dan pervaginam (prostaglandin vagina suppositoria).
Pada kehamilan aterm, induksi persalinan dengan
prostagladin cukup efektif untuk memperpendek proses persalinan, menurunkan
angka seksio sesaria dan menurunkan angka agar skor yang kurang dari 4. Selain
melunakkan servik prostaglandin juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan
curah jantung 30%. Juga merelaksasi otot polos gastrointestinal dan bronchial.
C. Cairan hipertonik intra uteri
Pemberian cairan hipertonik
intramnnion dipakai untuk merangsang kontraksi rahim pada kehamilan dengan
janin mati. Cairan hipertonik yang dipakai dapat berupa cairan garam hipertonik
20, urea dan lain-lain. Kadang-kadang pemakaian urea dicampur dengan prostagladin
untuk memperkuat rangsangan pada otot-otot rahim. Cara ini dapat menimbulkan
penyakit yang cukup berbahaya, misalnya hipernatremia, infeksi dan gangguan
pembekuan darah.
2. Secara manipulatif
A. Amniotomi
Amniotomi artifisialisis dilakukan
dengan cara memecahkan ketuban baik di bagian bawah depan (fore water) maupun
dibagian belakang ( hind water ) dengan suatu alat khusus (drewsmith catheter)
atau dengan omnihook yang sering dikombinasikan dengan pemberian oksitosin.
Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti bagaimana pengaruh amniotomi dalam
merangsang timbulnya kontraksi rahim.
Beberapa
teori mengemukakan bahwa :
·
Amniotomi dapat mengurangi beban
rahim sebesar 40% sehingga tenaga kontraksi rahim dapat lebih kuat untuk
membuka serviks
·
Amniotomi menyebabkan berkurangnya
aliran darah didalam rahim kira-kira 40 menit setelah amniotomi dikerjakan,
sehingga berkurangnya oksigenasi otot – otot rahim dan keadaan ini meningkatkan
kepekaan otot rahim.
·
Amniotomi menyebabkan kepala dapat
langsung menekan dinding serviks dimana didalamnya terdapat banyak syaraf –
syaraf yang merangsang kontraksi rahim.
Bila setelah amniotomi dikerjakan 6
jam kemudian, belum ada tanda – tanda permulaan persalinan, maka harus diikuti
dengan cara – cara lain untuk merangsang persalinan, misalnya dengan infus
oksitosin.
Pada
amniotomi perlu diingat akan terjadinya penyulit – penyulit sebagai berikut :
·
Infeksi intrauteri
·
Prolapsus funikuli
·
Gawat janin
·
Tanda-tanda solusio plasenta ( bila
ketuban sangat banyak dan dikeluarkan secara tepat).
Teknik
amniotomi.
Jari telunjuk dan jari tengah tangan
kanan di masukkan kedalam jalan lahir sampai sedalam kanalis servikalis.
Setelah kedua jari berada dalam kanalis servikalis, maka posisi jari diubah
sedemikian rupa, sehingga telapak tangan menghadap kearah atas. Tangan kiri
kemudian memasukan pengait khusus kedalam jalan lahir dengan tuntunan kedua
jari yang telah ada didalam. Ujung pengait diletakkan diantara jari telunjuk
dan jari tengah tangan yang didalam.
Tangan yang diluar kemudian
memanipulasi pengait khusus tersebut untuk dapat menusuk dan merobek selaput
ketuban. Selain itu menusukkan pengait ini dapat juga dilakukan dengan satu
tangan, yaitu pengait dijepit diantara jari tengah dan jari telunjuk tangan
kanan, kemudian dimasukkan kedalam jalan lahir sedalam kanalis servikalis. Pada
waktu tindakan ini dikerjakan, seorang asisten menahan kepala janin kedalam
pintu atas panggul. Setelah air ketuban mengalir keluar, pengait dikeluarkan
oleh tangan kiri, sedangkan jari tangan yang didalam melebar robekan selaput ketuban.
Air ketuban dialirkan sedikit demi sedikit untuk menjaga kemungkinan terjadinya
prolaps tali pusat, bagian – bagian kecil janin, gawat janin dan solusio
plasenta. Setelah selesai tangan penolong ditarik keluar dari jalan lahir.
B. Melepas
selaput ketuban dari bagian bawah rahim (stripping of the membrane).
Yang dimaksud dengan stripping of
the membrane, ialah melepaskan ketuban dari dinding segmen bawah rahim secara
menyeluruh setinggi mungkin dengan jari tangan. Cara ini dianggap cukup efektif
dalam merangsang timbulnya his. Beberapa hambatan yang dihadapi dalam melakukan
tindakan ini, ialah : Serviks yang belum dapat dilalui oleh jari, Bila
didapatkan persangkaan plasenta letak rendah, tidak boleh dilakukan. Bila
kepala belum cukup turun dalam rongga panggul.
C. Pemakaian rangsangan listrik
Dengan dua elektrode, yang satu
diletakkan dalam servik, sedangkan yang lain ditempelkan pada dinding perut,
kemudian dialirkan listrik yang akan memberi rangsangan pada serviks untuk
menimbulkan kontraksi rahim. Bentuk alat ini bermacam – macam, bahkan ada yang
ukurannya cukup kecil sehingga dapat dibawa – bawa dan ibu tidak perlu tinggal
di rumah sakit. Pemakaian alat ini perlu dijelaskan dan disetujui oleh pasien
D. Rangsangan pada puting susu
(breast stimulation )
Sebagaimana diketahui rangsangan
putting susu dapat mempengaruhi hipofisis posterior untuk mengeluarkan
oksitosis sehingga terjadi kontraksi rahim. Dengan pengertian ini maka telah
dicoba dilakukan induksi persalinan dengan merangsang putting susu. Pada salah
satu puting susu, atau daerah areola mammae dilakukan masase ringan dengan jari
si ibu. Untuk menghindari lecet pada daerah tersebut, maka sebaiknya pada
daerah puting dan aerola mammae di beri minyak pelicin. Lamanya tiap kali
melakukan masase ini dapat ½ jam – 1 jam, kemudian istirah beberapa jam dan
kemudian dilakukan lagi, sehingga dalam 1 hari maksimal dilakukan 3 jam. Tidak
dianjurkan untuk melakukan tindakan ini pada kedua payudaraan bersamaan, karena
ditakutkan terjadi perangsangan berlebihan. Menurut penelitian di luar negeri,
cara induksi ini memberi hasil yang baik. Cara – cara ini baik sekali untuk
melakukan pematangan serviks pada kasus – kasus kehamilan lewat waktu.
Induksi persalinan adalah suatu
usaha mempercepat persalinan dengan tindakan rangsangan kontraksi uterus.
Induksi persalinan dapat bersifat mekanis, atau secara kimiawi (medikamentosa)
Sebelum melakukan induksi, beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain :
□ Penilaian
serviks
Keberhasilan
induksi persalinan bergantung pada skor pelvis.
·
Jika skor >6, biasanya induksi
cukup dilakukan dengan oksitosin.
·
Jika < 5, matangkan serviks lebih
dahulu dengan prostaglandin atau kateter Foley.
Untuk menilai keadaan serviks dapat
dipakai skor bishop. Jika skor Bishop kurang atau sama dengan 3 maka angka
kegagalan induksi mencapai lebih dari 20% dan berakhir pada seksio sesaria.
Bila nilai lebih dari 8 induksi persalinan kemungkinan akan berhasil. Angka
yang tinggi menunjukkan kematangan serviks.
□ OKSITOSIN
·
Oksitosin digunakan secara hati-hati
karena dapat terjadi gawat janin dari hiperstimulasi. Walaupun jarang, dapat
terjadi ruptura uteri, terutama pada multipara. Selalu Iakukan observasi ketat
pada pasien yang mendapat Oksitosin.
·
Dosis efektif oksitosin bervariasi.
Infus oksitosin dalam dekstrose atau garam fisio¬logik, dengan tetesan
dinaikkan secara bertahap sampai his adekuat. Pertahankan Tetesan sampai
persalinan.
·
Pantau denyut nadi, tekanan darah,
dan kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut jantung janin (DJJ).
·
Kaji ulang indikasi induksi.
·
Baringkan ibu hamil miring kiri.
·
Catat semua pengamatan pada
partograf tiap 30 menit
ü Atur
kecepatan infus oksitosin
ü Frekuensi
dan lamanya kontraksi;
ü Denyut
jantung janin (DJJ). Dengar DJJ tiap 30 menit, dan selalu langsung setelah kontraksi.
Apabila DJJ kurang dari 100 per menit, segera hentikan infus.
Ingat : Ibu dengan
infus Oksitosin Jangan ditinggal sendirian.
·
Infus oksitosin 2,5 unit dalam 500
cc dekstrose (atau garam fisiologik) mulai dengan 10 tetes per menit
·
Naikkan kecepatan infus 10 tetes per
menit tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat (3 kali tiap 10 menit dengan lama
lebih dari 40 detik) dan pertahankan sampai terjadi kelahiran.
·
Jika terjadi hiperstimulasi (lama
kontraksi lebih dari 60 detik) atau lebih dari 4 kali kontraksi dalam 10 menit,
hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan:
ü terbutalin
250 mcg IN. pelan-pelan selama 5 menit, ATAU
ü salbutamol 5
mg dalam 500 ml cairan (garam fisiologik atau Ringer Laktat) 10 tetes per
menit.
·
Jika tidak tercapai kontraksi yang
adekuat (3 kali tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) setelah infus
oksitosin mencapai 60 tetes per menit:
ü Naikkan
konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekslrose (atau garam
fisiologik) dan sesuaikan kecepatan infus sampai 30 tetes per menit (15
mIU/menit);
ü Naikkan
kecepatan infus 10 tetes per menit tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat (3
kali tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) atau setelah infus
oksitosin mencapai 60 tetes per menit.
·
Jika masih tidak tercapai kontraksi
yang adekuat dengan konsentrasi yang lebih tinggi:
ü Pada
multigravida, induksi dianggap gagal, lakukan seksio sesarea.
ü Pada primigravida, infus oksitosin bisa
dinaikkan konsentrasinya yaitu:
·
10 unit dalam 500 ml dekstrose (atau
garam fisiologik) 30 tetes per menit.
·
Naikkan 10 tetes tiap 30 menit
sampai kontraksi adekuat.
·
Jika kontraksi tetap tidak adekuat
setelah 60 tetes per menit (60 mIU per menit), lakukan seksio sesarea .
Catatan :
Jangan Berikan Oksitosin 10 Unit dalam 500 CC pada multigravida dan pada bekas
seksio sesaria
□ PROSTAGLANDIN
Prostaglandin
sangat efektif untuk pematangan serviks selama induksi persalinan.
·
Pantau denyut nadi, tekanan darah,
kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut jantung janin (DJJ). Catat semua
pengamatan pada partograf.
·
Kaji ulang indikasi.
·
Prostaglandin E2 (PGE2) bentuk
pesarium 3 mg atau gel 2-3 mg ditempatkan pada forniks posterior vagina dan
dapat diulangi 6 jam kemudian (jika his tidak timbul). Pantau DJJ dan his pada
induksi persalinan dengan Prostaglandin.
·
Hentikan pemberian prostaglandin dan
mulailah infus oksitosin, jika:
ü ketuban
pecah,
ü pematangan
serviks telah tercapai,
ü proses
persalinan telah berlangsung,
ü ATAU
pemakaian prostaglandin telah 24 jam.
□ MISOPROSTOL
·
Penggunaan misoprostol untuk
pematangan serviks hanya pada kasus-kasus ter¬tentu misalnya:
ü preeklampsia
berat/eklampsia dan serviks belum matang sedangkan seksio sesarea belum dapat
segera dilakukan atau bayi terlalu prematur untuk bisa hidup;
ü kematian
janin dalam rahim lebih dari 4 minggu belum in partu, dan terdapat tanda-tanda
gangguan pembekuan darah.
·
Tempatkan tablet misoprostol 25 mcg
di forniks posterior vagina dan jika his tidak timbul dapat diulangi setelah 6
jam.
·
Jika tidak ada reaksi setelah 2 kali
pemberian 25 mcg, naikkan dosis menjadi 50 mcg tiap 6 jam.
·
Jangan lebih dari 50 mcg setiap kali
pakai dan jangan lebih dari 4 dosis atau 200 mcg.
·
Misoprostol mempunyai risiko
meningkatkan kejadian ruptura uteri. Oleh karena itu, hanya dikerjakan di
pelayanan kesehatan yang lengkap (ada fasilitas bedah sesar).
□ KATETER
FOLEY
Kateter
Foley merupakan alternatif lain di samping pemberian prostaglandin untuk
me¬matangkan serviks dan induksi persalinan.
Catatan : Jangan
menggunakan Kateter Folley Jika ada riwayat perdarahan, Ketuban Pecah,
pertumbuhan Janin terhambat, atau infeksi Vaginal.
·
Kaji ulang indikasi.
·
Pasang spekulum DTT di vagina.
·
Masukkan kateter Foley pelan-pelan
melalui serviks dengan menggunakan forseps DTT. Pastikan ujung kateter telah
melewati ostium uteri internum.
·
Gembungkan balon kateter dengan
memasukkan 10 ml air.
·
Gulung sisa kateter dan letakkan di
vagina.
·
Diamkan kateter dalam vagina sampai
timbul kontraksi uterus atau sampai 12 jam.
·
Kempiskan balon kateter sebelum
mengeluarkan kateter, kemudian lanjutkan dengan infus oksitosin.
C. INDIKASI, KONTRA INDIKASI DAN KOMPLIKASI
1. INDIKASI
Indikasi induksi persalinan bisa berasal dari anak
atau dari ibu. Indikasi yang berasal dari ibu adalah :
1. Kelainan hipertensi pada
kehamilan, Gangguan hipertensi pada awal kehamilan disebabkan oleh berbagai
keadaan, dimana terjadi peningkatan tekanan darah maternal disertai risiko yang
berhubungan dengan kesehatan ibu dan janin. Preeklamsi, eklamsia, dan
hipertensi sementara merupakan penyakit hipertensi dalam kehamilan, sering
disebut dengan pregnancy-induced hypertensio (PIH). Hipertensi kronis berkaitan
dengan penyakit yang sudah ada sebelum hamil.
2. Diabetes, Wanita diabetik yang
hamil memiliki risiko mengalami komplikasi. Tingkat komplikasi secara langsung
berhubungan dengan kontrol glukosa wanita sebelum dan selama masa kehamilan dan
dipengaruhi oleh komplikasi diabetic. Diabetes yang diikuti dengan komplikasi
lain seperti makrosomia, preklamsia, atau kematian janin, pengakhiran kehamilan
lebih baik dilakukan dengan induksi atau operasi caesar.
3. Perdarahan Antepartum, Perdarahan
antepartum yang bisa dilakukan induksi persalinan adalah solusio plasenta dan
plasenta previa lateralis. Solutio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang
lepasnya normal pada korpus uteri sebelum janin lahir. Perdarahan yang terjadi
karena terlepasnya plasenta dapat tersembunyi di belakang plasenta menembus
selaput ketuban, masuk ke dalam kantong ketuban. Nasib janin tergantung dari
luasnya plasenta yang lepas. Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas,
anoksia akan mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian kecil yang lepas,
mungkin tidak berpengaruh sama sekali atau mengakibatakan gawat janin. Solusio
placenta juga dapat mnyebabkan renjatan pada ibu. Untuk solusio plasenta yang
sedang atau berat.
Indikasi yang berasal dari anak antara lain :
1. Kehamilan lewat waktu (penelitian
dilakukan oleh peneliti kehamilan lewat waktu di Kanada pada ibu yang mengalami
kehamilan lewat dari 41 minggu yang diinduksi dengan yang tidak diinduksi,
hasilnya menunjukkan angka seksio sesaria pada kelompok yang diinduksi lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak diinduksi). Permasalahan
kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak mampu memberikan nutrisi dan
pertukaran CO2/O2 sehingga janin mempunyai risiko asfiksia sampai kematian
dalam rahim.
Makin menurunya sirkulasi darah
menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan :
·
Pertumbuhan janin makin melambat
·
Terjadi perubahan metabolisme janin.
·
Air ketuban berkurang dan makin
kental.
·
Saat persalinan janin lebih mudah
mengalami asfiksia.
Risiko
kematian perinatal kehamilan lewat waktu bisa menjadi tiga kali dibandingkan
dengan kehamilan aterm. Ada komplikasi yang lebih sering menyertainya seperti;
letak defleksi, posisi oksiput posterior, distosia bahu dan pendarahan
postpartum.
2. Ketuban pecah dini, Ketika
selaput ketuban pecah, mikroorganisme dari vagina dapat masuk ke dalam kantong
amnion. . Untuk itu perlu ditentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi
antara lain bila suhu ibu ≥38°C. Janin yang mengalami takikardi, mungkin
mengalami infeksi intrauterin. Yang ditakutkan jika terjadi ketuban pecah dini
adalah terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan
morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu. Untuk itu jika
kehamilan sudah memasuki aterm maka perlu dilakukan induksi.
3. Kematian janin dalam rahim.
4. Restriksi pertumbuhan intrauteri,
Bila dibiarkan terlalu lama dalam kandungan diduga akan berisiko/ membahayakan
hidup janin/kematian janin.
5. Isoimunisasi dan penyakit
kongenital janin yang mayor, Kelainan kongenital mayor merupakan kelainan yang
memberikan dampak besar pada bidang medis, operatif, dan kosmetik serta yang
mempunyai risiko kesakitan dan kematian tinggi, misalnya : anensefalus,
hidrosefalus, hidronefrosis, hidrops fetalis.
2. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi dari induksi
persalinan ada yang absolut dan yang relatif.
Kontraindikasi absolut adalah :
1. Disproposi sefalopelvik absolut
2. Gawat janin
3. Plasenta previa totalos
4. Vasa previa
5. Presentasi abnormal
6. Riwayat seksio sesaria klasik
sebelumnya
7. Presentasi bokong
Kontraindikasi yang sifatnya relatif adalah :
1. Perdarahan antepartum
2. Grande multiparitas
3. Riwayat seksio sesaria sebelumnya
(SSTP)
4. Malposisi dan malpresentasi
3. KOMPLIKASI
Menurut Rustam (1998), komplikasi induksi persalinan
adalah :
a) Terhadap Ibu
(1) Kegagalan induksi.
(2) Kelelahan ibu dan krisis
emosional.
(3) Inersia uteri partus lama.
(4) Tetania uteri (tamultous lebar)
yang dapat menyebabkan solusio plasenta, ruptura uteri dan laserasi jalan lahir
lainnya.
(5) Infeksi intra uterin.
b) Terhadap janin
(1) Trauma pada janin oleh tindakan.
(2) Prolapsus tali pusat.
(3) Infeksi intrapartal pada janin
Komplikasi induksi persalingan
dengan pemberian oksitosin dalam infus intravena dengan pemecahan ketuban cukup
aman bagi ibu apabila syarat-syarat seperti disebut diatas dipenuhi. Kematian
perinatal lebih tinggi daripada persalinan spontan, akan tetapi hal ini mungkin
dipengaruhi oleh keadaan yang menjadi indikasi untuk melakukan induksi
persalinan. Kemungkinan bahwa induksi persalinan gagal, dan perlu dilakukan
seksio sesaria, harus selalu diperhitungkan.
Komplikasi induksi persalinan yang mungkin terjadi
diantaranya adalah :
1. Adanya kontraksi rahim yang
berlebihan. Itu sebabnya induksi harus dilakukan dalam pengawasan yang ketat
dari dokter yang menangani. Jika ibu merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang
ditimbulkan, biasanya proses induksi dihentikan dan dilakukan operasi Caesar.
Kontraksi yang dihasilkan oleh uterus dapat menurunkan denyut jantung janin.
2. Janin akan merasa tidak nyaman
sehingga dapat membuat bayi mengalami gawat janin (stress pada bayi). Itu
sebabnya selama proses induksi berlangsung, penolong harus memantau gerak
janin. Bila dianggap terlalu berisiko menimbulkan gawat janin, proses induksi
harus dihentikan.
3. Dapat merobek bekas jahitan
operasi caesar. Hal ini bisa terjadi pada yang sebelumnya pernah dioperasi
caesar, lalu menginginkan kelahiran normal.
4. Emboli. Meski kemungkinannya
sangat kecil sekali namun tetap harus diwaspadai. Emboli terjadi apabila air
ketuban yang pecah masuk ke pembuluh darah dan menyangkut di otak ibu, atau
paru-paru. Bila terjadi, dapat merenggut nyawa ibu seketika.
5. Janin bisa mengalami ikterus
neonatorum dan aspirasi air ketuban.
6. Infeksi dan rupture uterus juga
merupakan komplikasi yang terjadi pada induksi persalinan walaupun jumlahnya
sedikit.
Belakangan ini Induksi Persalinan juga dilakukan karena alasan lain yang tidak terlalu mendesak. Seperti karena Anda tinggal di tempat yang jauh dari layanan kesehatan, sehingga Anda perlu melakukan induksi agar persalinan dapat diawasi tenaga kesehatan. Alasan lain, yaitu untuk memberikan kenyamanan pada ibu hamil agar ia tidak terlalu merasakan sakit saat menunggu persalinan, tapi umumnya hal ini tidak dianjurkan.
BalasHapus